Ibnu Ka’ab al-Qurthubi berkata, Sesungguhnya Abdullah yang dijuluki Dzil Bijadain merupakan orang terpandang di kalangan kabilahnya. Hanya saja hatinya telah tertambat dengan Rasulullah dan lebih mencintai keimanan. Kemudian ia pergi menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Mengetahui kejadian ini, Ibu Abdullah pergi menuju pimpinan kabilah dan berkata, ‘Sesungguhnya Abdulullah telah pergi menemui Muhammad, susullah ia dan bawalah pulang. Ambil pakaian-pakaiannya, karena ia sangat pemalu. Jika kalian berhasil mengambil pakaiannya tentu ia tidak akan meneruskan keinginannya.’
Kemudian mereka mengambil pakaian Ka’ab dan membiarkannya telanjang. Ia tinggal di dalam rumah tanpa mau makan ataupun minum sebelum ia bertemu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika Ibu Abdullah mengetahui anaknya mogok makan, dia kembali mendatangi kaumnya dan memberitahukan bahwa Abdullah bersumpah untuk melakukan mogok makan dan minum sebelum bertemu Muhammad. Ibunya berkata, ‘Tolong kembalikan pakaian Abdullah karena takut dia mati.’
Mereka enggan memberikan pakaian itu. Maka ibu Abdullah mengambil satu lembar kain kotak-kotak kasar dan dipotong menjadi dua lembar. Salah satu lembar diberikan agar dipakai sebagai sarung dan satu lembar lagi untuk penutup kepala. Sang Ibu berkata, ‘Sekarang pergilah!’
Kemudian Abdullah pergi, menempuh perjalanan dengan mendaki dan menuruni lembah, sehingga tiba di kota Madinah.
Di kota ini ia belajar al-Qur’an dan memperdalam agama. Dia dan para sahabat sering pergi dan istirahat di sebuah rumah milik seorang wanita Anshar yang biasa menyediakan makanan dan kebutuhan para sahabat.
Suatu hari, ada seorang sahabat berkata kepada Abdullah, “Bagaimana pendapatmu sekiranya engkau menikah dengan wanita itu?”
Kemudian ada sahabat yang memberitahukan kepada wanita itu. Serta merta wanita itu berkata, ‘Mengapa kamu tidak meninggalkan kebiasaanmu menyebut-nyebut namaku, hentikan kebiasaan itu atau jangan lagi kalian datang untuk beristirahat di rumahku!’
Kejadian ini disampaikan kepada Abu Bakar Rhadiyallahu ‘anhu. Kemudian Abu Bakar mendatangi wanita itu dan berkata, ‘Wahai Fulanah, telah sampai kepadaku berita bahwa Abdullah meminangmu, maka terimalah pinangannya. Sesungguhnya ia seorang pemuda yang terpandang di kalangan kaumnya, dia pandai membaca al Qur’an dan mempunyai pengetahuan agama yang luas.’
Umar Rhadiyallahu ‘anhu juga datang ke rumah wanita Anshar itu dan menyampaikan hal serupa. Berita ini pun akhirnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adalah Abdullah, apabila matahari telah terbit ia biasa mengerjakan shalat sunnah sesuai dengan kemampuannya. Kemudian menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengucapkan salam kepada beliau kemudian pergi.
Pada suatu hari, setelah Abdullah shalat kemudian menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Nabi bertanya, “Wahai Abdullah bukankah telah sampai kepadaku berita bahwa engkau menyebut Fulanah?”
Abdullah menjawab, “Ya.”
Nabi bersabda, “Aku telah menikahkanmu dengannya.”
Mendengar sabda Nabi demikian itu, Abdullah kemudian mendatangi para sahabatnya dan berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menikahkan aku dengan wanita Anshar itu.”
Maka isteri-isteri orang Anshar pergi menuju rumah wanita itu untuk mengucapkan selamat dan mempersiapkan acara walimah. Mereka menjahit burdah, membuat bantal dari kulit, memasak makanan dan lain-lain untuk walimah pada malam hari.
Adapun Abdullah, ia bangun untuk mengerjakan shalat, dia tidak menemui wanita Anshar itu dan tidak mendekatinya, sehingga Bilal mengumandangkan adzan Shubuh.
Selesai adzan, para isteri sahabat pulang ke rumah masing-masing, mereka berkata, “Demi Allah, Abdullah tidak membutuhkan sesuatu pun, dia tidak mendatangi isterinya juga tidak mendekatinya.”
Pagi hari itu, Abdullah mengerjakan shalat Shubuh bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah matahari terbit, Abdullah berdiri untuk mengerjakan shalat sunnah sebagaimana dia biasa melakukannya. Kemudian menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan salam kepada beliau. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Tidakkah kamu membutuhkan isterimu?”
Abdullah menjawab, “Benar. Tetapi setiap kali aku melihat kenikmatan yang dilimpahkan Allah berupa wanita cantik, tempat tidur nyaman dan makanan yang lezat, aku merasa tidak mendapatkan sesuatu yang bisa aku pun lebih mengutamakan pedangku, aku gunakan untuk berperang di jalan Allah dan membela Rasulullah, dan aku dahului dengan mengerjakan shalat. Inilah persembahanku kepada isteriku wahai Rasulullah.”
Kemudian ia berkenan pergi untuk menemui isterinya.
Ketika berlangsung peperangan Khaibar itu, ia terluka lalu berwasiat, “Aku belum pernah memberi sesuatu pun kepada isteriku, maka berikanlah bagianku dari rampasan perang Khaibar kepadanya.” Tidak lama kemudian ia menemui ajalnya.
Dalam suatu riwayat Ibnu Mas’ud Rhadiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika itu kami sangat lapar. Kemudian pada suatu malam aku keluar, aku melihat ada cahaya berkilau dari kejauhan. Aku berkata pada diriku, ‘Aku harus ke tempat itu, mudah-mudahan aku mendapatkan makanan di sana.’
Benar aku sampai di tempat itu. Ternyata ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menggali kubur dan memberikan tanah kepada Abu Bakar dan Umar, sementara itu jenazah Abdullah terbaring di dekatnya. Setelah Rasulullah menguburkannya beliau bersabda, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku meridhainya, maka ridhailah ia.’ Beliau mengucapkan doa ini dua atau tiga kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar