Betapa Sakitnya Sakaratul Maut |
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda mengenai betapa sakitnya sakaratul maut, “Jika rasa sakit seujung rambut dari rasa sakit yang dialami oleh mayit, diletakkan di atas langit dan bumi, tentu penduduknya akan mati dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda bahwa sakitnya sakaratul maut itu seperti kadar tiga ratus pukulan dengan pedang.
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Ibrahim meninggal, maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepadanya: “Bagaimana engkau menghadapi kematian wahai khalilullah?” Nabi Ibrahim menjawab: “Seperti besi pembakar daging yang diletakkan pada bulu basah, kemudian ditarik.”
Dalam sebuah riwayat, Nabi Isa alaihissalam yang diberi mukjizat dapat menghidupkan orang mati, suatu ketika didatangi beberapa orang kafir. Untuk membuktikan kemukjizatannya, maka Nabi Isa disuruh menghidupkan kembali orang yang telah lama meninggal, sebab kalau menunjuk kuburan yang usianya belum lama, mereka khawatir bahwa yang dihidupkan kemungkinan belum benar-benar meninggal. Tantangan dari orang kafir itu kemudian diterima, dan mereka disuruh untuk memilih kuburan mana yang dikehendaki.
Lalu mereka menunjuk mayat Syam bin Nun. Maka Nabi Isa alaihissalam mendatangi kuburnya untuk shalat dua raka’at dan memohon kepada Allah. Maka dengan izin Allah, Syam bin Nun bangun dari dalam kuburnya, sedangkan rambut dan janggutnya dalam keadaan beruban. Nabi Isa bertanya, “Padahal waktu engkau masih hidup dulu tidak demikian (tidak beruban)?” Lalu Syam bin Nun menjawab, “Aku mendengar panggilanmu, dan mengira kiamat telah tiba. Maka tumbuh uban di rambut dan janggutku karena terkejut dan takut.” Nabi Isa bertanya, “Sejak berapa lama engkau telah meninggal?” Syam bin Nun menjawab, “Sejak empat ribu tahun yang lalu. Tetapi hingga kini pedihnya sakaratul maut belum juga hilang.”
Kendati umat terdahulu mengalami kepedihan seperti itu menjelang kematian, namun orang-orang mukmin tidak akan mengalami hal yang serupa. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda: “Ruh seorang mukmin akan keluar dari jasadnya, seperti keluarnya rambut dari adonan tepung.”
Dalam sebuah keterangan diceritakan bahwa apabila Allah menghendaki mengambil ruh seorang mukmin, maka akan datang malaikat maut. Namun untuk mencabut ruhnya, sang malaikat mencari tempat termudah untuk melakukannya. Ketika malaikat maut ini ingin mengambil ruhnya lewat mulut, padahal mulut orang mukmin tersebut sering digunakan untuk berdzikir, maka akhirnya ia tidak jadi. Proses gagalnya pengambilan ruh ini kemudian dilaporkan oleh malaikat maut kepada Allah. Dan Allah lalu memerintahkan lagi untuk mengambilnya lewat anggota tubuh yang lain.
Anggota tubuh selanjutnya adalah tangan. Namun, saat ingin mengambil ruh dari anggota tubuh tersebut ternyata dilihat ada bekas perbuatan sedekah, menyantuni anak yatim, menulis ilmu, serta bekas memegang pedang untuk perang sabil, maka urunglah sang malaikat mencabutnya dari sana. Sebagai gantinya maka malaikat maut hendak mencabutnya dari sisi kaki. Namun, kembali usaha ini mengalami kegagalan, karena saat hendak mencabut, ternyata di kakinya terlihat ada bekas digunakan untuk berjalan menghadiri tempat shalat jama’ah, shalat ‘Id, serta menghadiri tempat pengajian. Melihat itu semuanya, maka sang malaikat mengurungkan niatnya untuk mengambil ruh dari sisi tersebut. Sebagai gantinya maka sang malaikat berpindah ke telinga. Tetapi setelah akan diambil dari arah telinga, dilihatnya bahwa pada sisi ini ada bekas mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Dan seakan tidak mau gagal dari usaha tersebut, maka malaikat maut akhirnya mencoba dari sudut mata. Namun apa boleh buat, dari sisi anggota tubuh ini pun mengalami kegagalan serupa. Hal itu terjadi lantaran pada panca indra penglihatan ini terlibat banyak kegiatan ibadah yang dilakukan, misalnya seperti membaca Al-Qur’an, membaca buku-buku agama, mengkaji ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan aktivitas positif lainnya.
Dengan berbagai kegagalan yang dialami, maka malaikat maut akhirnya melaporkan kejadian tersebut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian Allah berfirman: “Tulislah nama-Ku di telapak tanganmu, lalu tunjukkan tulisan tersebut kepada ruh orang mukmin itu. Karena cintanya terhadap nama-Ku itu, niscaya ruh orang mukmin ini akan keluar dengan sendirinya dari mulutnya.” Demikianlah, dengan berkah Allah akhirnya sang mukmin tidak merasakan pedihnya sakaratul maut itu. Tidak hanya itu, dia juga akan terhindar dari murka Allah.
Di riwayat lainnya disebutkan bahwasanya malaikat maut sewaktu akan mencabut ruh dari seorang mukmin, maka ruhnya mengatakan, “Aku tidak akan ikut selagi engkau belum diperintahkan untuk urusan ini.” Lalu ruh orang mukmin itu menuntut alamat dan tanda-tanda sambil berkata: “Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikan aku dan memasukkan aku ke dalam tubuhku, dan pada waktu itu engkau tidak ada. Tapi kenap sekarang engkau mau mengambil aku?”
Mendengar hal itu, maka malaikat maut kembali menghadap Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu Allah berfirman, “Apakah engkau telah mencabut ruh dari seorang hamba-Ku?” Malaikat maut berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya hamba-Mu telah berkata begini dan begitu... dan ia telah menuntut alamat dan tanda-tanda kepadaku.” Allah berfirman kembali: “Sungguh benar ruh hamba-Ku. Wahai malaikat maut, pergilah kau ke surga, ambillah Tuffah dan itulah tanda-tanda-Ku. Karena itu perlihatkanlah hal itu kepada hamba-Ku.” Malaikat maut lalu berangkat ke surga dan mengambil tuffah yang di atasnya tertulis “Bismillaahir rahmaanir rahiim.” Setelah tuffah diperlihatkan kepada ruh hamba yang mukmin tadi, maka sang ruh keluar dengan cepat, tidak ada rasa sakit sedikit pun.
Disebutkan dalam hadits, apabila seorang hamba sudah sampai kepada naza’ (kondisi kritis), maka akan terdengar panggilan dari Allah, “Tinggalkan dia sampai beristirahat satu jam.” Demikian pula jika ruh sudah sampai kedua lutut dan pusar. Jika sudah sampai pada kerongkongan, maka datanglah panggilan: “Tinggalkan dia sampai anggota-anggota tubuhnya meminta izin berpisah dengan anggota tubuh lainnya.” Maka, mata yang satu akan meminta izin kepada mata sebelahnya sambil mengucapkan salam: “Assalammu ‘alaikum ila yaumil qiyamah (keselamatan semoga tetap bagimu sampai hari kiamat).” Demikian pula antara kedua telinga, tangan, kaki, semuanya melakukan hal yang sama. Lalu ruh mengucapkan selamat tinggal kepada tubuh.
Imam Abu Hanifah berkata: “Kebanyakan sesuatu yang merusak iman dari seorang hamba adalah di waktu naza’.” Ini dikarenakan ketika tubuh hendak ditinggal sang ruh, maka saat itu akan terjadi pertarungan antara malaikat dan setan. Apabila amal ibadah serta pertolongan Allah bersama seseorang, maka imannya akan senantiasa lekat, sedangkan godaan dan tipu daya setan akan kalah. Namun jika ketika naza’ telah tiba amal ibadah seseorang tidak optimal, apalagi tanpa bantuan dari Allah, maka imannya akan rusak lantaran kalah dengan godaan setan. Karenanya, kita mohon perlindungan kepada Allah agar dimudahkan dan diberi perlindungan ketika berada dalam masa-masa kritis menjelang kematian.
Saat ruh sudah mulai meninggalkan tubuh untuk kembali kepada-Nya, maka seluruh anggota tubuh tak lagi berdaya. Kedua tangan yang dimiliki tak mampu lagi untuk bergerak, kedua mata juga tidak lagi bisa melihat seperti saat hidup, kedua telinga tidak ada kemampuan untuk bisa mendengar suara di sekelilingnya. Dengan demikian, tubuh yang telah ditinggalkan ruh adalah jasad yang tidak bernyawa.
Proses perjalanan manusia selanjutnya adalah memasuki alam kubur (barzakh). Dalam kondisi semacam ini dapatkah kita membayangkan jika kita tidak beriman? Lalu apa yang dapat kita pertanggungjawabkan saat berada dalam kubur? Padahal kita ketahui bahwa disana tidak ada seorang pun yang akan menemani kita, baik ayah, ibu, anak, dan saudara-saudara kita. Kala itu tidak berguna lagi seorang teman karib. Satu-satunya yang dapat menolong kita adalah amal-amal kebaikan serta pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Jika tanpa hal itu, maka tidak ada yang dapat kita banggakan dan andalkan barang sedikit pun. Jika tidak ada ma’unah (pertolongan) dari Allah, sungguh nyata sekali bahwa kita dalam keadaan merugi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar