Layani Ratusan Pasien, Dokter di Medan Rela Dibayar Sesuka Hati
Di tengah era modernisasi seperti saat ini, sangat jarang ditemukan orang-orang yang rela membantu orang lain, tanpa mengharapkan imbalan. Apalagi menyangkut profesi yang disandang.

Namun, hal itu tak berlaku bagi Aznan Lelo. Dokter farmakologi yang membuka praktik di rumahnya di Jalan Puri, Kelurahan Kota Matsum, Medan, Sumatera Utara ini selalu didatangi ratusan pasien setiap harinya.

Tidak seperti dokter umumnya yang memasang papan nama di depan rumahnya, Buya Aznan Lelo, sapaan akrabnya, justru tidak melakukan itu. Kendati, pasien tetap percaya dan kembali berdatangan.

"Saya juga heran kenapa mereka banyak yang datang, padahal tidak ada papan nama. Bagi saya semua pasien tetap harus dilayani," kata Aznan saat ditemui Liputan6.com, Medan, Sumatera utara, Sabtu 5 Maret 2016.

Disinggung tarif berobat, pria kelahiran Bukit Tinggi 2 Desember 1951 ini menegaskan, dirinya tidak pernah mematok harga sepeser pun. Bagi dia, profesi seorang dokter sejatinya membantu orang sakit.

"Tidak pernah saya minta pasien, kalau mereka berobat tidak pernah saya tetapkan tarifnya, tapi kalau mereka memberi ya saya terima. Saya tidak mau terima langsung, istri saja yang membukanya," ucap Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Aznan menyebut, praktik pengobatan ini mulai sejak 1978. Saat itu ia membuka praktik di kediaman orangtuanya, yang hanya berjarak 2 rumah dari kediamannya sekarang. Kemudian dia sempat berhenti pada 1983, saat ada kesempatan mengambil gelar Ph.D di Australia.

Dicekal

Namun, rencana tersebut awalnya tidak berjalan mulus. Saat hendak berangkat ke Negeri Kanguru, Aznan sempat dicekal pemerintah. Ketika itu ia dinilai sebagai aktivis Islam ekstremis dan sempat disamakan dengan orang-orang yang dilarang ke luar negeri.

"Sempat dicekal, tapi aku terus berjuang dan berusaha. Di sinilah aku berpikir bahwa kalau memang rezeki, pasti tidak lari dan akhirnya aku berangkat. Semua dibiayai pemerintah," ungkap pria yang memulai kuliah jurusan kedokteran sejak 1971 hingga 1978.

Saat kembali ke Indonesia pada 1987, awalnya Aznan tidak ingin membuka praktik. Namun, beberapa pasien yang pernah berobat kepada dia datang lagi, dan berharap agar dia membuka praktik, membantu masyarakat yang sakit.

"Kalau aku gunakan profesi dokterku ini untuk jadi kaya, aku pasti sudah kaya. Tapi aku enggak mau, bagiku orang miskin lebih menghargai profesi dokter, dibandingkan orang kaya. Itu yang buat aku senang jalani profesi seperti ini," ujar dia.

Terlahir dari ayah dan ibu yang berprofesi sebagai tukang jahit, Aznan yang saat ini menginjak 64 tahun, tidak pernah memiliki cita-cita sebagai dokter. 

Sebagai anak yang suka pelajaran matematika saat di bangku sekolah, Aznan sangat mendambakan menjadi seorang sarjana nuklir.

"Abang saya bilang, saya jago matematika, ngapain jadi sarjana nuklir? Bagusnya jadi dokter," kenang dia. 

"Ditanya lebih dulu lagi, kepala sekolah SD pernah nanya juga, mau jadi apa? Mau jadi orang berguna, tetapi beda dari yang lain. Rasanya sudah kesampaian sekarang," sambung Aznan.

Dukungan Istri

Meski profesi yang disandangnya kini bisa saja dapat menghasilkan banyak uang, namun Aznan enggan melakukan. Sang istri, Rahmayanti Yoesran, juga tidak pernah mengeluhkan.

"Buya kegiatannya dari pagi mengajar, kemudian buka praktik sore hari, tapi enggak pernah ngeluh capek atau sakit. Buya selalu mengaku senang dengan apa yang dilakukannya. Saya juga dukung kalau Buya seperti ini," kata Rahmayanti.

Perempuan 50 tahun ini mengaku, kepada anak-anaknya, Aznan tidak pernah menuntut mereka harus menyandang profesi tertentu. 

Alhasil, tanpa tekanan dan dibesarkan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta norma-norma agama, 2 dari 3 anak mereka menjadi seorang dokter. Sedangkan seorang lainnya lulusan sarjana hukum.

"2 Orang ngikut Buya jadi dokter, kalau yang paling besar lulusan sarjana hukum," ujar dia.

Terkait pasien yang sering berobat kepada Aznan, Rahmayanti menuturkan, kebanyakan pasien datang dari Kota Medan. Namun ada juga beberapa pasien dari luar kota, bahkan dari luar negeri, seperti Malaysia dan Belanda.

"Saya tidak ingat tahun berapa, ada pasien datang dari Belanda dan Malaysia datang. Kita juga enggak tahu mereka dapat informasi dari mana. Buya juga kaget, tapi tetap dilayani dan tidak dikenakan tarif, seikhlasnya saja. Buya tidak pernah minta," cerita dia.

Penanganan Berbeda

Sementara, seorang pasien asal Aceh, Faisal, yang kebetulan sedang berobat mengaku, awalnya tidak percaya ada dokter seperti Aznan. Lalu, dia mencari informasi di internet, dan ternyata banyak yang membahas dokter bersuku Minang tersebut.

"Saya awalnya enggak percaya, kemudian coba-coba kemari, dan ternyata benar, penyakit kelenjar leher saya sudah mulai membaik sejak pertama kali berobat tahun lalu," kata dia 

Saya rutin berobat sama Buya, penanganannya juga beda. Pendekatannya sangat baik," sambung Faisal.

Pasien lainnya, Hernawati, juga menyebut hal yang sama. Perempuan yang tinggal di kawasan Kota Binjai ini mengaku, baru pertama kali berobat di tempat Aznan. 

Setelah memberikan keluhannya, Herna, sapaan akrabnya, diperiksa sebentar. Kemudian dia diberikan resep untuk membeli di toko obat.

"Resepnya juga terjangkau, enggak mahal. Buya bilang sakit saya tidak parah, dan hanya perlu jaga makan agar tidak kambuh lagi. 3 Hari lagi disuruh cek kemari lagi," ucap wanita yang mengeluhkan nyeri di bagian perutnya ini.

Layani Ratusan Pasien, Dokter di Medan Rela Dibayar Sesuka Hati

Layani Ratusan Pasien, Dokter di Medan Rela Dibayar Sesuka Hati
Di tengah era modernisasi seperti saat ini, sangat jarang ditemukan orang-orang yang rela membantu orang lain, tanpa mengharapkan imbalan. Apalagi menyangkut profesi yang disandang.

Namun, hal itu tak berlaku bagi Aznan Lelo. Dokter farmakologi yang membuka praktik di rumahnya di Jalan Puri, Kelurahan Kota Matsum, Medan, Sumatera Utara ini selalu didatangi ratusan pasien setiap harinya.

Tidak seperti dokter umumnya yang memasang papan nama di depan rumahnya, Buya Aznan Lelo, sapaan akrabnya, justru tidak melakukan itu. Kendati, pasien tetap percaya dan kembali berdatangan.

"Saya juga heran kenapa mereka banyak yang datang, padahal tidak ada papan nama. Bagi saya semua pasien tetap harus dilayani," kata Aznan saat ditemui Liputan6.com, Medan, Sumatera utara, Sabtu 5 Maret 2016.

Disinggung tarif berobat, pria kelahiran Bukit Tinggi 2 Desember 1951 ini menegaskan, dirinya tidak pernah mematok harga sepeser pun. Bagi dia, profesi seorang dokter sejatinya membantu orang sakit.

"Tidak pernah saya minta pasien, kalau mereka berobat tidak pernah saya tetapkan tarifnya, tapi kalau mereka memberi ya saya terima. Saya tidak mau terima langsung, istri saja yang membukanya," ucap Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Aznan menyebut, praktik pengobatan ini mulai sejak 1978. Saat itu ia membuka praktik di kediaman orangtuanya, yang hanya berjarak 2 rumah dari kediamannya sekarang. Kemudian dia sempat berhenti pada 1983, saat ada kesempatan mengambil gelar Ph.D di Australia.

Dicekal

Namun, rencana tersebut awalnya tidak berjalan mulus. Saat hendak berangkat ke Negeri Kanguru, Aznan sempat dicekal pemerintah. Ketika itu ia dinilai sebagai aktivis Islam ekstremis dan sempat disamakan dengan orang-orang yang dilarang ke luar negeri.

"Sempat dicekal, tapi aku terus berjuang dan berusaha. Di sinilah aku berpikir bahwa kalau memang rezeki, pasti tidak lari dan akhirnya aku berangkat. Semua dibiayai pemerintah," ungkap pria yang memulai kuliah jurusan kedokteran sejak 1971 hingga 1978.

Saat kembali ke Indonesia pada 1987, awalnya Aznan tidak ingin membuka praktik. Namun, beberapa pasien yang pernah berobat kepada dia datang lagi, dan berharap agar dia membuka praktik, membantu masyarakat yang sakit.

"Kalau aku gunakan profesi dokterku ini untuk jadi kaya, aku pasti sudah kaya. Tapi aku enggak mau, bagiku orang miskin lebih menghargai profesi dokter, dibandingkan orang kaya. Itu yang buat aku senang jalani profesi seperti ini," ujar dia.

Terlahir dari ayah dan ibu yang berprofesi sebagai tukang jahit, Aznan yang saat ini menginjak 64 tahun, tidak pernah memiliki cita-cita sebagai dokter. 

Sebagai anak yang suka pelajaran matematika saat di bangku sekolah, Aznan sangat mendambakan menjadi seorang sarjana nuklir.

"Abang saya bilang, saya jago matematika, ngapain jadi sarjana nuklir? Bagusnya jadi dokter," kenang dia. 

"Ditanya lebih dulu lagi, kepala sekolah SD pernah nanya juga, mau jadi apa? Mau jadi orang berguna, tetapi beda dari yang lain. Rasanya sudah kesampaian sekarang," sambung Aznan.

Dukungan Istri

Meski profesi yang disandangnya kini bisa saja dapat menghasilkan banyak uang, namun Aznan enggan melakukan. Sang istri, Rahmayanti Yoesran, juga tidak pernah mengeluhkan.

"Buya kegiatannya dari pagi mengajar, kemudian buka praktik sore hari, tapi enggak pernah ngeluh capek atau sakit. Buya selalu mengaku senang dengan apa yang dilakukannya. Saya juga dukung kalau Buya seperti ini," kata Rahmayanti.

Perempuan 50 tahun ini mengaku, kepada anak-anaknya, Aznan tidak pernah menuntut mereka harus menyandang profesi tertentu. 

Alhasil, tanpa tekanan dan dibesarkan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta norma-norma agama, 2 dari 3 anak mereka menjadi seorang dokter. Sedangkan seorang lainnya lulusan sarjana hukum.

"2 Orang ngikut Buya jadi dokter, kalau yang paling besar lulusan sarjana hukum," ujar dia.

Terkait pasien yang sering berobat kepada Aznan, Rahmayanti menuturkan, kebanyakan pasien datang dari Kota Medan. Namun ada juga beberapa pasien dari luar kota, bahkan dari luar negeri, seperti Malaysia dan Belanda.

"Saya tidak ingat tahun berapa, ada pasien datang dari Belanda dan Malaysia datang. Kita juga enggak tahu mereka dapat informasi dari mana. Buya juga kaget, tapi tetap dilayani dan tidak dikenakan tarif, seikhlasnya saja. Buya tidak pernah minta," cerita dia.

Penanganan Berbeda

Sementara, seorang pasien asal Aceh, Faisal, yang kebetulan sedang berobat mengaku, awalnya tidak percaya ada dokter seperti Aznan. Lalu, dia mencari informasi di internet, dan ternyata banyak yang membahas dokter bersuku Minang tersebut.

"Saya awalnya enggak percaya, kemudian coba-coba kemari, dan ternyata benar, penyakit kelenjar leher saya sudah mulai membaik sejak pertama kali berobat tahun lalu," kata dia 

Saya rutin berobat sama Buya, penanganannya juga beda. Pendekatannya sangat baik," sambung Faisal.

Pasien lainnya, Hernawati, juga menyebut hal yang sama. Perempuan yang tinggal di kawasan Kota Binjai ini mengaku, baru pertama kali berobat di tempat Aznan. 

Setelah memberikan keluhannya, Herna, sapaan akrabnya, diperiksa sebentar. Kemudian dia diberikan resep untuk membeli di toko obat.

"Resepnya juga terjangkau, enggak mahal. Buya bilang sakit saya tidak parah, dan hanya perlu jaga makan agar tidak kambuh lagi. 3 Hari lagi disuruh cek kemari lagi," ucap wanita yang mengeluhkan nyeri di bagian perutnya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar