Dalam diri seorang ibu terdapat kebahagiaan, segala macam kebahagiaan. Seolah dalam diri anaknya tersimpan dunia dan segala kesenangannya. Ia tidak melihat dunia selain pada anaknya! Namun, kebahagiaan itu telah berlalu. Ia adalah anak semata wayang, sedang si ibu seorang diri! Ibu dan anaknya hidup sebatang kara tanpa saudara atau kerabat.

Suaminya meninggal tanpa mewariskan kekayaan apa pun, selain gubuk kecil dari tanah liat uang terletak dipinggir perkampungan lama di ibukota Riyadh. Di dalam gubuk itu tidak tersimpan perabot rumahtangga, selain barang-barang di mana bila Anda melihatnya sekilas, Anda akan mengerti barang-barang tersebut hanya dipergunakan oleh mereka yang hidup 20 tahun silam. Orang yang hidup di zaman ini akan jijik untuk sekedar duduk di atasnya, karena busana mereka lebih bersih dari hatinya.

Berbeda dengan orang zaman dahulu, mereka memiliki kalbu yang lebih bersih dibanding pakaian yang melekat di badan. Harta satu-satunya yang ditinggalkan suaminya adalah seorang bayi laki-laki yang usianya baru beberapa bulan. Harta miliknya hanya sebuah gubuk dari tanah liat dan bayi yang parasnya seperti fajar yang sedang duka, ditambah santunan tahunan yang tidak seberapa besarnya. Dengan uang santunan yang disebut ‘tunjangan sosial’ itulah sang ibu hidup dan menghidupi bayinya. Sisanya disimpan untuk menghadapi masa-masa sulit.

Sang ibu membesarkan anaknya hingga tiba saatnya si kecil bersekolah. Di hari pertamanya, ia berangkat ke sekolah dengan membawa tas kecil di atas kepala. Ia tampak keberatan, meski di dalam tas kecil itu hanya terdapat Juz ‘Amma, buku belajar membaca, berhitung, dan sebuah pensil, ditambah sepotong roti kering sebagai menu sarapan pagi. Ketika berjalan, ia terllihat seolah menyeret sehelai jubah yang menutupi topi kecil di atas kepalanya yang mungil!

Sang ibu meneteskan air mata bahagia mengantar kepergian si buah hati menyongsong masa depannya. Setiap hari ia mengantar kepergian si kecil ke sekolah dengan berjalan kaki dan menunggu dengan sabar sampai anaknya pulang sekolah. Ia menyambut kedatangan anaknya dengan ciuman di kedua pipi, membawakan tasnya dan menggandeng pulang ke rumah di bawah terik matahari. Kebahagiaan ibu meluap-luap saat mendengar pengumuman kelulusan anaknya dari sekolah dasar, memberitahukan kepada setiap orang yang ditemuinya di jalan, bahwa anaknya lulus dan tengah mengantongi ijazah.

Beberapa tahun berlalu. Saat ini si anak telah menamatkan kuliahnya dan meraih gelar sarjana dari universitas paling bergengsi di ibu kota negeri ini. Sang ibu masih hidup berdua dengan buah hatinya di dalam gubuk tanah liat. Suatu hari, sang ibu merasa amat berbahagia bercampur derita dan harap. Pasalnya tidak lain karena buah hatinya akan berpisah dengannya dan meninggalkan negeri tercinta untuk melanjutkan studi di Barat. Kelak, usai menamatkan studi, ia akan memperoleh ijazah tertinggi. Hati sang ibu hampir-hampir runtuh karena tangis, saat anaknya menutup pintu mobil sewaan yang akan mengantarnya ke bandara ibukota Riyadh dan akan berpisah dengan ibunya selama enam tahun!

Sang ibu tidak bisa mengetahui kabar anaknya selain melalui surat yang ditulis dan dikirimkannya dengan bantuan para tetangga. Setiap malam menjelang, ia mendekap foto anaknya yang menghiasi lembaran ijazah sekolah dasarnya, membasahinya dengan airmata hinggaia terlelap tidur, berharap dapat bertemu sang buah hati dalam mimpi! Demikianlah keadaan sang ibu sepanjang tahun-tahun perpisahan dengan anaknya; di bawah lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala!

Beberapa tahun berselang, Sang ibu menerima surat dari anaknya, sang doktor, yang mengabarkan bahwa dalam waktu dekat ia akan kembali! Gurun Nejed seolah-olah tidak mampu menampung luapan kebahagiaan sang ibu. Ia memohon kepada Allah agar memanjangkan umurnya hingga ia dapat bertemu buah hatinya. Ia bahkan tidak nyenyak tidur, menanti kedatangan anaknya.

Suatu malam, saat matanya hampir terpejam, tiba-tiba pintu gubuknya berderit terbuka. Ia melihat dua koper besar yang ditenteng si pemiliknya, seorang laki-laki berusia 32 tahunan, mengenakan pakaian yang hanya dikenakan oleh orang tertentu; jaket, dasi dan sepatu mengkilat laksana lidah api. Sang ibu mendekap dengan kedua tangannya yang ringkih dan ia pun tak sadarkan diri! Suara tangis yang bersahutan membisingkan para tetangga yang berdiri termangu di beranda, ikut menyambut dan menyampaikan ucapan selamat atas kedatangan anak tetangganya yang telah menjadi doktor!

Beberapa tahun kemudian, sang doktor mengajak ibunya pindah ke rumah yang baru saja dibelinya, setaraf dengan derajat dan kedudukan diri sang dokter. Akan tetapi, tidak untuk ibunya! Ia meninggalkan gubuk itu untuk selama-lamanya! Ya, untuk selamanya, karena gubuk itu untuk selama-lamanya! Ya, untuk selamanya, karena sang anak telah menjualnya dengan harga amat murah, beberapa dirham saja. Sebab, ia merasa tidak butuh lagi pada rumah kumuh itu! ibunya merasa seperti memotong sekerat jantungnya lalu mencampakkannya ke tanah, terlintas olehnya bayangan para tetangga yang santun. Namun, ia berusaha tabah untuk menyenangkan hati anaknya dan demi mendapat ridha Allah atas kesabaran ini.

Suatu hari, sang ibu memberi saran agar dirinya menikah dengan seorang wanita putri si Fulan, wanita yang taat beragama, shalehah, pandai menjaga kesucian diri, pemalu dan penurut. Anaknya hanya tertawa, seraya menepuk kedua telapak tangan, ia berkata pada ibunya, “Belum, belum waktunya menikah…!!”

Hingga ketika waktunya tiba, sang doktor menikah dengan wanita yang selevel dengan dirinya. Wanita berkedudukan dan rupawan, tetapi sayang, ia pawai menyombongkan diri, angkuh, merendahkan orang lain, termasuk gemar menghina cara berbicara dan berpakaian ibu mertuanya dan seterusnya.

Sang ibu berjuang untuk sabar seperti kesabaran Nabi Ayyub. Ia tidak ingin melukai perasaan anaknya, sehingga tidak sekalipun ia menceritakan padanya tentang penderitaaan yang ia rasakan akibat kekejaman menantunya setiap kali suami pulang kerja, si istri mengajaknya menyendiri di dalam kamar, mengadu kepada suaminya apa saja yang terjadi di rumah sepanjang hari, tentang bagaimana ia dibuat menderita oleh ibu mertuanya, menderita dan menderita. Begitulah penderitaan yang dialaminya setiap hari. Sang doktor dibuat bingung dan heran, setiap kali ia bertanya bagaimana penilaian sang ibu pada perilaku istrinya. Sang ibu berupaya memuji dan menceritakan yang baik perihal menantunya. Semua itu dilakukan agar ia tidak melukai perasaan anaknya atau membuatnya murka. Sang doktor tampak mulai kehilangan kesabaran dan imannya menipis, dan lenyap pula sisa-sisa perasaan kasih sayang yang sempat ia simpan dengan malu-malu sepulangnya dari Barat.

Sang anak berdiri tegak di depan ibunya, yang tengah mencuci pakaiannya, sedang ular besar (sang istri) dengan rambut panjangnya yang terurai di punggung, memperhatikan dari kejauhan. Dengan nada memerintah, ia berkata kepada ibunya, “Wahai ibu, engkau harus bisa menjaga martabat istriku. Engkau harus berpakaian yang pantas jika teman-teman istriku berkunjung. Engkau pun harus bertutur kata yang baik, jangan duduk bersama mereka di ruang tamu… , jika tidak,..”

Ibunya yang renta itu menoleh ke belakang. Ia mengira sang anak berbicara kepada seseorang, tetapi ketika ia tidak melihat seorang pun selain dirinya, sang ibu tersadar bahwa anaknya sedang berbicara kepada dirinya! Tiba-tiba dunia terasa begitu gelap, ia bersandar pada kekuatan tubuhnya yang masih tersisa. Sang ibu bergegas menuju biliknya, melemparkan tubuhnya yang renta di atas kasur, membenamkan mukanya di balik bantal dan menangis dengan tangisan yang menyayat hati.

“Ular betina” semakin menebarkan keburukan, tetapi si suami justru semakin memperhatikannya. Hingga siang bolong, petaka besar itu pun terjadi!

“Berapa kali aku katakan kepadamu, nalar orangtua renta ini tidak cocok dengan gaya hidup kita! Ia sudah usang, apakah engkau mengerti! Sampai-sampai ketika telepon berdering, engkau ikut-ikutan ingin mengangkatnya? Tidak ada satu persoalan pun di rumah sial ini yang engkau tidak ikut campur di dalamnya! Semoga Allah menutupi aib dirimu! Kita tidak cocok hidup bersamamu dan engkau pun tidak lagi pantas berada di tengah-tengah kami… !!”

Dengan menjinjing sehelai kantong plastik berisi beberapa potong pakaian miliknya, sang ibu meninggalkan rumah anaknya yang megah itu. Ketika sampai di depan pintu pagar, ia menoleh, airmatanya bercucuran membasahi pipi, di tengah siang hari yang panas membakar. “Semoga Allah memaafkanmu, anakku! Demi Allah, aku tidak pernah mengajari kamu dan istrimu selain hal-hal yang baik. Aku tidak pernah sekalipun melukai perasaan istrimu, dan semoga Allah memaafkan kalian.” Ia pergi tanpa tujuan, sedangkan si anak berusaha menyadarkan hati nuraninya untuk menyusul sang ibu, akan tetapi si “ular betina” yang cantik jelita dan lembut itu menghalanginya. Ia pun mengurungkan niatnya.

Beberapa bulan telah berlalu semenjak petaka itu. Sang ibu bertanya kepada para tetangga tentang hal ihwal anaknya; apakah ia dalam keadaan baik, apakah dia sakit, sudahkah dia dikaruniai anak? Hidupnya terlunta-lunta, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Tinggal di rumah tetangga satu beberapa hari, dan di rumah tetangga lainnya sebulan dan seterusnya. Dengan memendam rasa malu, ia menerima apa saja yang diberikan orang sebagai sedekah untuknya, seolah ia menelan bara api yang memerah.

Suatu hari, si anak menderita sakit yang membuatnya dirawat di rumah sakit. Saat berita itu sampai di telinga sang ibu, ia bergegas membesuk dengan cara menumpang mobil sewaan menuju tempat anaknya dirawat. Tak disangka, tepat di depan pintu kamar rawat, sudah berdiri si “ular betina.” Ia mengelabui dokter dan perawat dengan mengatakan kepada mereka, wanita tua itu tidak waras dan mereka patut khawatir ia akan memporak-porandakan peralatan medis di ruangan itu.

Si ibu menjerit ketika mereka memaksanya keluar, “Tidak! Dia anakku, dia buah hatiku. Allah mengasihi kalian. Jangan halangi aku! Aku hanya ingin menjenguknya!” Wanita tua itu dikeluarkan dengan paksa dari rumah sakit dan anaknya tidak diberitahu akan kedatangan sang ibu.

Hampir seluruh harta kekayaan sang anak terkuras habis untuk pengobatan. Bahkan, ia terpaksa menjual sebagian perabotan rumah. Pada suatu hari, setelah terjadi pertengkaran sebab banyaknya tuntutan yang diajukan istri, si “ular betina” mengatakan kepada suaminya, “Sekian lama aku bersabar demi dirimu dan ibumu, tetapi saat ini sungguh sayang, engkau bukan lagi laki-laki sejati. Aku tidak tahan hidup lebih lama lagi bersama orang melarat sepertimu. Ceraikan aku. Tidakkah engkau mendengar? Ceraikan aku!”

Si suami yang jatuh miskin itu berkata, “Seakan ia menampar mukaku dengan sebatang besi panas dan mencampakkan tubuh telanjangku di tengah gurun Nafud!” Tak ada pillihan lain; ia menceraikan istrinya, lalu pergi merana untuk memungut kembali kenang-kenangan lama yang telah hilang, mencari sang ibunda tercinta yang teraniaya! Ia mendatangi setiap rumah di perkampungan lama, bertanya pada semua tetangga, namun tiada hasil. Ia mencarinya di lemari penyimpanan mayat di rumah sakit, di kantor polisi dan mengira bahwa sang ibu telah tiada.

Suatu hari, sang anak singgah di sebuah masjid di kampung halamannya untuk shalat Maghrib, kalau-kalau ia mendapat kabar tentang ibunya dari orang-orang yang pernah bertetangga dengannya. Tiba-tiba, ia menyaksikan pemandangan yang menyayat hati. Pemandangan yang dapat membawa orang yang berdosa pada pintu tobat, pemandangan yang memaksa airmata untuk menetes deres!

Apa gerangan yang Anda bayangkan? Seorang wanita tua, yang tidak lain adalah ibunya tercinta, ada di beranda masjid, sambil menengadahkan tangan mengharap belas kasih orang untuk mendapat sekeping dua keping recehan, sama seperti ketika ia menengadahkan tangannya di waktu kecil pada ibunya. Sekarang, sang ibu menjadi pengemis agar bisa hidup. Ia merasa segan menerima santunan dan sedekah tetangga, sadar bahwa dirinya menjadi beban bagi mereka. Dengan demikian ia telah merendahkan martabat diri sendiri. Maka ibunya memilih untuk mengemis, mengharap belas kasih para hamba Allah di sudut-sudut masjid.

Dengan serta merta, sang anak bersimpuh di hadapan ibunya, mencium kaki dan tangan ibunya, merengkuh kedua kaki ibu dan menempelkan pada pipinya. Tangis sang anak seolah memekakkan langit kota Nejed, menciptakan pemandangan yang membingungkan setiap orang yang melihatnya. Ia membopong sang ibu dengan kedua tangan dan membawanya ke rumah, seraya meneriakkan kata-kata bercampur airmata dan penyesalan,

“….laknat Allah[1] atas istri durhaka, laknat Allah atas predikat ‘doktor’, atas rumahku, atas gaji yang kuterima, atas harta benda dan siapa saja yang memisahkan diriku dengan ibuku…”

Demikianlah segera sang anak membawa pergi ibunya dalam pelukan. Dan memalingkan punggungnya dari dunia!

Demi Allah, saya ingin memberi komentar atas peristiwa tersebut sebagai penutup kisah ini, tetapi saya merasa tidak mampu. Bacalah kisah ini sebagaimana adanya, tanpa komentar![2] [Syahida.com]

Sumber: Musa bin Muhammad Hajjad az Zahrani (Keramat Hidup: Orang Tua)

Kisah Anak Durhaka Bergelar Doktor: Demi Istri, Mengusir Ibu Dari Rumah

Dalam diri seorang ibu terdapat kebahagiaan, segala macam kebahagiaan. Seolah dalam diri anaknya tersimpan dunia dan segala kesenangannya. Ia tidak melihat dunia selain pada anaknya! Namun, kebahagiaan itu telah berlalu. Ia adalah anak semata wayang, sedang si ibu seorang diri! Ibu dan anaknya hidup sebatang kara tanpa saudara atau kerabat.

Suaminya meninggal tanpa mewariskan kekayaan apa pun, selain gubuk kecil dari tanah liat uang terletak dipinggir perkampungan lama di ibukota Riyadh. Di dalam gubuk itu tidak tersimpan perabot rumahtangga, selain barang-barang di mana bila Anda melihatnya sekilas, Anda akan mengerti barang-barang tersebut hanya dipergunakan oleh mereka yang hidup 20 tahun silam. Orang yang hidup di zaman ini akan jijik untuk sekedar duduk di atasnya, karena busana mereka lebih bersih dari hatinya.

Berbeda dengan orang zaman dahulu, mereka memiliki kalbu yang lebih bersih dibanding pakaian yang melekat di badan. Harta satu-satunya yang ditinggalkan suaminya adalah seorang bayi laki-laki yang usianya baru beberapa bulan. Harta miliknya hanya sebuah gubuk dari tanah liat dan bayi yang parasnya seperti fajar yang sedang duka, ditambah santunan tahunan yang tidak seberapa besarnya. Dengan uang santunan yang disebut ‘tunjangan sosial’ itulah sang ibu hidup dan menghidupi bayinya. Sisanya disimpan untuk menghadapi masa-masa sulit.

Sang ibu membesarkan anaknya hingga tiba saatnya si kecil bersekolah. Di hari pertamanya, ia berangkat ke sekolah dengan membawa tas kecil di atas kepala. Ia tampak keberatan, meski di dalam tas kecil itu hanya terdapat Juz ‘Amma, buku belajar membaca, berhitung, dan sebuah pensil, ditambah sepotong roti kering sebagai menu sarapan pagi. Ketika berjalan, ia terllihat seolah menyeret sehelai jubah yang menutupi topi kecil di atas kepalanya yang mungil!

Sang ibu meneteskan air mata bahagia mengantar kepergian si buah hati menyongsong masa depannya. Setiap hari ia mengantar kepergian si kecil ke sekolah dengan berjalan kaki dan menunggu dengan sabar sampai anaknya pulang sekolah. Ia menyambut kedatangan anaknya dengan ciuman di kedua pipi, membawakan tasnya dan menggandeng pulang ke rumah di bawah terik matahari. Kebahagiaan ibu meluap-luap saat mendengar pengumuman kelulusan anaknya dari sekolah dasar, memberitahukan kepada setiap orang yang ditemuinya di jalan, bahwa anaknya lulus dan tengah mengantongi ijazah.

Beberapa tahun berlalu. Saat ini si anak telah menamatkan kuliahnya dan meraih gelar sarjana dari universitas paling bergengsi di ibu kota negeri ini. Sang ibu masih hidup berdua dengan buah hatinya di dalam gubuk tanah liat. Suatu hari, sang ibu merasa amat berbahagia bercampur derita dan harap. Pasalnya tidak lain karena buah hatinya akan berpisah dengannya dan meninggalkan negeri tercinta untuk melanjutkan studi di Barat. Kelak, usai menamatkan studi, ia akan memperoleh ijazah tertinggi. Hati sang ibu hampir-hampir runtuh karena tangis, saat anaknya menutup pintu mobil sewaan yang akan mengantarnya ke bandara ibukota Riyadh dan akan berpisah dengan ibunya selama enam tahun!

Sang ibu tidak bisa mengetahui kabar anaknya selain melalui surat yang ditulis dan dikirimkannya dengan bantuan para tetangga. Setiap malam menjelang, ia mendekap foto anaknya yang menghiasi lembaran ijazah sekolah dasarnya, membasahinya dengan airmata hinggaia terlelap tidur, berharap dapat bertemu sang buah hati dalam mimpi! Demikianlah keadaan sang ibu sepanjang tahun-tahun perpisahan dengan anaknya; di bawah lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala!

Beberapa tahun berselang, Sang ibu menerima surat dari anaknya, sang doktor, yang mengabarkan bahwa dalam waktu dekat ia akan kembali! Gurun Nejed seolah-olah tidak mampu menampung luapan kebahagiaan sang ibu. Ia memohon kepada Allah agar memanjangkan umurnya hingga ia dapat bertemu buah hatinya. Ia bahkan tidak nyenyak tidur, menanti kedatangan anaknya.

Suatu malam, saat matanya hampir terpejam, tiba-tiba pintu gubuknya berderit terbuka. Ia melihat dua koper besar yang ditenteng si pemiliknya, seorang laki-laki berusia 32 tahunan, mengenakan pakaian yang hanya dikenakan oleh orang tertentu; jaket, dasi dan sepatu mengkilat laksana lidah api. Sang ibu mendekap dengan kedua tangannya yang ringkih dan ia pun tak sadarkan diri! Suara tangis yang bersahutan membisingkan para tetangga yang berdiri termangu di beranda, ikut menyambut dan menyampaikan ucapan selamat atas kedatangan anak tetangganya yang telah menjadi doktor!

Beberapa tahun kemudian, sang doktor mengajak ibunya pindah ke rumah yang baru saja dibelinya, setaraf dengan derajat dan kedudukan diri sang dokter. Akan tetapi, tidak untuk ibunya! Ia meninggalkan gubuk itu untuk selama-lamanya! Ya, untuk selamanya, karena gubuk itu untuk selama-lamanya! Ya, untuk selamanya, karena sang anak telah menjualnya dengan harga amat murah, beberapa dirham saja. Sebab, ia merasa tidak butuh lagi pada rumah kumuh itu! ibunya merasa seperti memotong sekerat jantungnya lalu mencampakkannya ke tanah, terlintas olehnya bayangan para tetangga yang santun. Namun, ia berusaha tabah untuk menyenangkan hati anaknya dan demi mendapat ridha Allah atas kesabaran ini.

Suatu hari, sang ibu memberi saran agar dirinya menikah dengan seorang wanita putri si Fulan, wanita yang taat beragama, shalehah, pandai menjaga kesucian diri, pemalu dan penurut. Anaknya hanya tertawa, seraya menepuk kedua telapak tangan, ia berkata pada ibunya, “Belum, belum waktunya menikah…!!”

Hingga ketika waktunya tiba, sang doktor menikah dengan wanita yang selevel dengan dirinya. Wanita berkedudukan dan rupawan, tetapi sayang, ia pawai menyombongkan diri, angkuh, merendahkan orang lain, termasuk gemar menghina cara berbicara dan berpakaian ibu mertuanya dan seterusnya.

Sang ibu berjuang untuk sabar seperti kesabaran Nabi Ayyub. Ia tidak ingin melukai perasaan anaknya, sehingga tidak sekalipun ia menceritakan padanya tentang penderitaaan yang ia rasakan akibat kekejaman menantunya setiap kali suami pulang kerja, si istri mengajaknya menyendiri di dalam kamar, mengadu kepada suaminya apa saja yang terjadi di rumah sepanjang hari, tentang bagaimana ia dibuat menderita oleh ibu mertuanya, menderita dan menderita. Begitulah penderitaan yang dialaminya setiap hari. Sang doktor dibuat bingung dan heran, setiap kali ia bertanya bagaimana penilaian sang ibu pada perilaku istrinya. Sang ibu berupaya memuji dan menceritakan yang baik perihal menantunya. Semua itu dilakukan agar ia tidak melukai perasaan anaknya atau membuatnya murka. Sang doktor tampak mulai kehilangan kesabaran dan imannya menipis, dan lenyap pula sisa-sisa perasaan kasih sayang yang sempat ia simpan dengan malu-malu sepulangnya dari Barat.

Sang anak berdiri tegak di depan ibunya, yang tengah mencuci pakaiannya, sedang ular besar (sang istri) dengan rambut panjangnya yang terurai di punggung, memperhatikan dari kejauhan. Dengan nada memerintah, ia berkata kepada ibunya, “Wahai ibu, engkau harus bisa menjaga martabat istriku. Engkau harus berpakaian yang pantas jika teman-teman istriku berkunjung. Engkau pun harus bertutur kata yang baik, jangan duduk bersama mereka di ruang tamu… , jika tidak,..”

Ibunya yang renta itu menoleh ke belakang. Ia mengira sang anak berbicara kepada seseorang, tetapi ketika ia tidak melihat seorang pun selain dirinya, sang ibu tersadar bahwa anaknya sedang berbicara kepada dirinya! Tiba-tiba dunia terasa begitu gelap, ia bersandar pada kekuatan tubuhnya yang masih tersisa. Sang ibu bergegas menuju biliknya, melemparkan tubuhnya yang renta di atas kasur, membenamkan mukanya di balik bantal dan menangis dengan tangisan yang menyayat hati.

“Ular betina” semakin menebarkan keburukan, tetapi si suami justru semakin memperhatikannya. Hingga siang bolong, petaka besar itu pun terjadi!

“Berapa kali aku katakan kepadamu, nalar orangtua renta ini tidak cocok dengan gaya hidup kita! Ia sudah usang, apakah engkau mengerti! Sampai-sampai ketika telepon berdering, engkau ikut-ikutan ingin mengangkatnya? Tidak ada satu persoalan pun di rumah sial ini yang engkau tidak ikut campur di dalamnya! Semoga Allah menutupi aib dirimu! Kita tidak cocok hidup bersamamu dan engkau pun tidak lagi pantas berada di tengah-tengah kami… !!”

Dengan menjinjing sehelai kantong plastik berisi beberapa potong pakaian miliknya, sang ibu meninggalkan rumah anaknya yang megah itu. Ketika sampai di depan pintu pagar, ia menoleh, airmatanya bercucuran membasahi pipi, di tengah siang hari yang panas membakar. “Semoga Allah memaafkanmu, anakku! Demi Allah, aku tidak pernah mengajari kamu dan istrimu selain hal-hal yang baik. Aku tidak pernah sekalipun melukai perasaan istrimu, dan semoga Allah memaafkan kalian.” Ia pergi tanpa tujuan, sedangkan si anak berusaha menyadarkan hati nuraninya untuk menyusul sang ibu, akan tetapi si “ular betina” yang cantik jelita dan lembut itu menghalanginya. Ia pun mengurungkan niatnya.

Beberapa bulan telah berlalu semenjak petaka itu. Sang ibu bertanya kepada para tetangga tentang hal ihwal anaknya; apakah ia dalam keadaan baik, apakah dia sakit, sudahkah dia dikaruniai anak? Hidupnya terlunta-lunta, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Tinggal di rumah tetangga satu beberapa hari, dan di rumah tetangga lainnya sebulan dan seterusnya. Dengan memendam rasa malu, ia menerima apa saja yang diberikan orang sebagai sedekah untuknya, seolah ia menelan bara api yang memerah.

Suatu hari, si anak menderita sakit yang membuatnya dirawat di rumah sakit. Saat berita itu sampai di telinga sang ibu, ia bergegas membesuk dengan cara menumpang mobil sewaan menuju tempat anaknya dirawat. Tak disangka, tepat di depan pintu kamar rawat, sudah berdiri si “ular betina.” Ia mengelabui dokter dan perawat dengan mengatakan kepada mereka, wanita tua itu tidak waras dan mereka patut khawatir ia akan memporak-porandakan peralatan medis di ruangan itu.

Si ibu menjerit ketika mereka memaksanya keluar, “Tidak! Dia anakku, dia buah hatiku. Allah mengasihi kalian. Jangan halangi aku! Aku hanya ingin menjenguknya!” Wanita tua itu dikeluarkan dengan paksa dari rumah sakit dan anaknya tidak diberitahu akan kedatangan sang ibu.

Hampir seluruh harta kekayaan sang anak terkuras habis untuk pengobatan. Bahkan, ia terpaksa menjual sebagian perabotan rumah. Pada suatu hari, setelah terjadi pertengkaran sebab banyaknya tuntutan yang diajukan istri, si “ular betina” mengatakan kepada suaminya, “Sekian lama aku bersabar demi dirimu dan ibumu, tetapi saat ini sungguh sayang, engkau bukan lagi laki-laki sejati. Aku tidak tahan hidup lebih lama lagi bersama orang melarat sepertimu. Ceraikan aku. Tidakkah engkau mendengar? Ceraikan aku!”

Si suami yang jatuh miskin itu berkata, “Seakan ia menampar mukaku dengan sebatang besi panas dan mencampakkan tubuh telanjangku di tengah gurun Nafud!” Tak ada pillihan lain; ia menceraikan istrinya, lalu pergi merana untuk memungut kembali kenang-kenangan lama yang telah hilang, mencari sang ibunda tercinta yang teraniaya! Ia mendatangi setiap rumah di perkampungan lama, bertanya pada semua tetangga, namun tiada hasil. Ia mencarinya di lemari penyimpanan mayat di rumah sakit, di kantor polisi dan mengira bahwa sang ibu telah tiada.

Suatu hari, sang anak singgah di sebuah masjid di kampung halamannya untuk shalat Maghrib, kalau-kalau ia mendapat kabar tentang ibunya dari orang-orang yang pernah bertetangga dengannya. Tiba-tiba, ia menyaksikan pemandangan yang menyayat hati. Pemandangan yang dapat membawa orang yang berdosa pada pintu tobat, pemandangan yang memaksa airmata untuk menetes deres!

Apa gerangan yang Anda bayangkan? Seorang wanita tua, yang tidak lain adalah ibunya tercinta, ada di beranda masjid, sambil menengadahkan tangan mengharap belas kasih orang untuk mendapat sekeping dua keping recehan, sama seperti ketika ia menengadahkan tangannya di waktu kecil pada ibunya. Sekarang, sang ibu menjadi pengemis agar bisa hidup. Ia merasa segan menerima santunan dan sedekah tetangga, sadar bahwa dirinya menjadi beban bagi mereka. Dengan demikian ia telah merendahkan martabat diri sendiri. Maka ibunya memilih untuk mengemis, mengharap belas kasih para hamba Allah di sudut-sudut masjid.

Dengan serta merta, sang anak bersimpuh di hadapan ibunya, mencium kaki dan tangan ibunya, merengkuh kedua kaki ibu dan menempelkan pada pipinya. Tangis sang anak seolah memekakkan langit kota Nejed, menciptakan pemandangan yang membingungkan setiap orang yang melihatnya. Ia membopong sang ibu dengan kedua tangan dan membawanya ke rumah, seraya meneriakkan kata-kata bercampur airmata dan penyesalan,

“….laknat Allah[1] atas istri durhaka, laknat Allah atas predikat ‘doktor’, atas rumahku, atas gaji yang kuterima, atas harta benda dan siapa saja yang memisahkan diriku dengan ibuku…”

Demikianlah segera sang anak membawa pergi ibunya dalam pelukan. Dan memalingkan punggungnya dari dunia!

Demi Allah, saya ingin memberi komentar atas peristiwa tersebut sebagai penutup kisah ini, tetapi saya merasa tidak mampu. Bacalah kisah ini sebagaimana adanya, tanpa komentar![2] [Syahida.com]

Sumber: Musa bin Muhammad Hajjad az Zahrani (Keramat Hidup: Orang Tua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar