Aku akan menceritakan padamu sebuah insiden. Beberapa tahun yang lalu di Chicago ada seorang nyonya yang putranya sakit parah. Putranya masih remaja. Kondisinya sangat parah sehingga dia diberikan bantuan pernapasan. Dan dokter akan mencabut selang pernapasan itu karena dia menderita dan kemungkinannya untuk pulih hampir tidak ada. Dan nyonya itu berkata padaku “Aku ingin kau hadir saat putraku meninggal.” Jadi aku berkata pada nyonya itu “Insya Allah aku akan datang.”

Aku masih mengingat kejadian waktu itu. Aku datang ke rumah sakitnya, dan nyonya itu berdiri di samping tempat tidur putranya. Suami nyonya itu duduk di sampingku. Suaminya memakai kursi roda. Sang nyonya berkata pada dokternya “Silahkan, cabutlah bantuan pernapasannya.” Maka dokter pun mencabut selang pernapasan itu dari putranya.

Allahuakbar. Melihat seorang ibu mengggenggam tangan putranya, seiring putranya menghadapi sakaratul maut... Ini adalah sesuatu yang terlalu sukar untuk dilihat. Aku duduk disana karena nyonya itu butuh dukungan dariku. Tapi sangat sulit bagiku mengamati semua ini, sehingga aku menunduk dan air mata mulai mengaliri pipiku. Dan nyonya ini hanya menggenggam tangan putranya sambil menggigit bibir, dia terus berkata pada putranya dalam nada lembut. Dia terus mengulang-ulang ucapannya, “Semua akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja.” Dia tahu bahwa denyut nadi putranya makin lemah. Dia dapat merasakannya karena menggenggam tangan putranya.

Kemudian dia berkata pada dokternya, “Ketika saat terakhirnya tiba, beritahu aku.” Dokternya berkata “Inilah saat-saat terakhirnya.” Allahuakbar, nyonya ini membungkuk dan mengecup putranya, dan tetap dalam posisi itu untuk beberapa saat lamanya. Dia terus mengecup putranya sampai ia meninggal. Setelah putranya meninggal, aku berdiri dan berkata padanya “Bibi, maaf karena aku tidak bisa memberimu dukungan pada momen yang sulit ini, karena aku sendiri juga menangis.” Dia berkata padaku “Nak, aku tidak mengundangmu untuk memberiku dukungan. Untuk hal itu aku memintanya pada Allah. Aku telah belajar setelah bertahun-tahun, bahwa satu-satunya yang jadi tempat bergantungmu adalah Allah. Meski begitu, alasan aku memintamu hadir disini adalah aku ingin kau menjadi saksi bahwa aku mencintai putraku.

Ketahuilah, beberapa minggu yang lalu, aku dan anakku bertengkar. Kemudian dia jatuh sakit sementara kami masih bertengkar. Aku tidak punya kesempatan untuk memberitahu betapa aku mencintainya.”

Dan kemudian nyonya itu berkata padaku “Wallahi al-azim, aku bersumpah demi Allah, pada hari dia terlahir, adalah tangan ini yang pertama kali membawanya ke dunia. Aku adalah orang pertama yang mendekapnya dan mengecupnya. Dan hari ini ketika dia meninggalkan dunia, aku ingin kau menjadi saksi bahwa akulah yang terakhir mendekapnya dan mengecupnya.”

Jadi terkadang kita melupakan kedekatan dengan ibu kita pada saat pertengkaran. Tapi dapatkah anda mengakhiri hubungan seorang ibu dan anaknya? Sang nyonya mengecup anaknya setelah anaknya meninggal dunia. Sebelum dia lahir, ibunya yang membawa anak itu di rahimnya. Bahkan pada awal-awal kehamilan, saat anaknya belum bernyawa, ibunya masih tetap mengelus perutnya dan berbicara kepada janinnya. Dia tersenyum padanya dan telah berencana untuk bayi itu.

Begitu juga, sebagaimana ibu mencintai anda, ALLAH S.W.T MENCINTAI ANDA 99 KALI LIPAT MELEBIHI ITU. Tidak peduli betapa seorang ibu mencintai anda, dan sebagian ibu bahkan tidak bisa mengungkapkan rasa cintanya kepada anak-anaknya. Cinta ini tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata karena cinta ini berasal dari hatinya.

Anda tahu bahwa Romeo dan Juliet tidak bisa mengungkapkan cinta mereka satu sama lain. Tanyakan pada ibu manapun, dapatkah cintanya Romeo dan Juliet menyamai cinta seorang ibu pada anak-anaknya? Sang ibu akan berkata, “Cinta Romeo dan Juliet masih amatiran. Kamilah (para ibu) yang cintanya profesional.” Dan jika anda berpikir bahwa para ibu sudah profesional, Allah s.w.t 99 KALI LIPAT CINTANYA MELEBIHI ITU.

Lihat videonya disini

Seorang Ibu dan Putranya yang Meninggal

Aku akan menceritakan padamu sebuah insiden. Beberapa tahun yang lalu di Chicago ada seorang nyonya yang putranya sakit parah. Putranya masih remaja. Kondisinya sangat parah sehingga dia diberikan bantuan pernapasan. Dan dokter akan mencabut selang pernapasan itu karena dia menderita dan kemungkinannya untuk pulih hampir tidak ada. Dan nyonya itu berkata padaku “Aku ingin kau hadir saat putraku meninggal.” Jadi aku berkata pada nyonya itu “Insya Allah aku akan datang.”

Aku masih mengingat kejadian waktu itu. Aku datang ke rumah sakitnya, dan nyonya itu berdiri di samping tempat tidur putranya. Suami nyonya itu duduk di sampingku. Suaminya memakai kursi roda. Sang nyonya berkata pada dokternya “Silahkan, cabutlah bantuan pernapasannya.” Maka dokter pun mencabut selang pernapasan itu dari putranya.

Allahuakbar. Melihat seorang ibu mengggenggam tangan putranya, seiring putranya menghadapi sakaratul maut... Ini adalah sesuatu yang terlalu sukar untuk dilihat. Aku duduk disana karena nyonya itu butuh dukungan dariku. Tapi sangat sulit bagiku mengamati semua ini, sehingga aku menunduk dan air mata mulai mengaliri pipiku. Dan nyonya ini hanya menggenggam tangan putranya sambil menggigit bibir, dia terus berkata pada putranya dalam nada lembut. Dia terus mengulang-ulang ucapannya, “Semua akan baik-baik saja, semua akan baik-baik saja.” Dia tahu bahwa denyut nadi putranya makin lemah. Dia dapat merasakannya karena menggenggam tangan putranya.

Kemudian dia berkata pada dokternya, “Ketika saat terakhirnya tiba, beritahu aku.” Dokternya berkata “Inilah saat-saat terakhirnya.” Allahuakbar, nyonya ini membungkuk dan mengecup putranya, dan tetap dalam posisi itu untuk beberapa saat lamanya. Dia terus mengecup putranya sampai ia meninggal. Setelah putranya meninggal, aku berdiri dan berkata padanya “Bibi, maaf karena aku tidak bisa memberimu dukungan pada momen yang sulit ini, karena aku sendiri juga menangis.” Dia berkata padaku “Nak, aku tidak mengundangmu untuk memberiku dukungan. Untuk hal itu aku memintanya pada Allah. Aku telah belajar setelah bertahun-tahun, bahwa satu-satunya yang jadi tempat bergantungmu adalah Allah. Meski begitu, alasan aku memintamu hadir disini adalah aku ingin kau menjadi saksi bahwa aku mencintai putraku.

Ketahuilah, beberapa minggu yang lalu, aku dan anakku bertengkar. Kemudian dia jatuh sakit sementara kami masih bertengkar. Aku tidak punya kesempatan untuk memberitahu betapa aku mencintainya.”

Dan kemudian nyonya itu berkata padaku “Wallahi al-azim, aku bersumpah demi Allah, pada hari dia terlahir, adalah tangan ini yang pertama kali membawanya ke dunia. Aku adalah orang pertama yang mendekapnya dan mengecupnya. Dan hari ini ketika dia meninggalkan dunia, aku ingin kau menjadi saksi bahwa akulah yang terakhir mendekapnya dan mengecupnya.”

Jadi terkadang kita melupakan kedekatan dengan ibu kita pada saat pertengkaran. Tapi dapatkah anda mengakhiri hubungan seorang ibu dan anaknya? Sang nyonya mengecup anaknya setelah anaknya meninggal dunia. Sebelum dia lahir, ibunya yang membawa anak itu di rahimnya. Bahkan pada awal-awal kehamilan, saat anaknya belum bernyawa, ibunya masih tetap mengelus perutnya dan berbicara kepada janinnya. Dia tersenyum padanya dan telah berencana untuk bayi itu.

Begitu juga, sebagaimana ibu mencintai anda, ALLAH S.W.T MENCINTAI ANDA 99 KALI LIPAT MELEBIHI ITU. Tidak peduli betapa seorang ibu mencintai anda, dan sebagian ibu bahkan tidak bisa mengungkapkan rasa cintanya kepada anak-anaknya. Cinta ini tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata karena cinta ini berasal dari hatinya.

Anda tahu bahwa Romeo dan Juliet tidak bisa mengungkapkan cinta mereka satu sama lain. Tanyakan pada ibu manapun, dapatkah cintanya Romeo dan Juliet menyamai cinta seorang ibu pada anak-anaknya? Sang ibu akan berkata, “Cinta Romeo dan Juliet masih amatiran. Kamilah (para ibu) yang cintanya profesional.” Dan jika anda berpikir bahwa para ibu sudah profesional, Allah s.w.t 99 KALI LIPAT CINTANYA MELEBIHI ITU.

Lihat videonya disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar