Abdul Muiz Ghazali
Abdul Muiz Ghazali, seorang peneliti studi Islam pada awalnya anti terhadap orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), namun keputusannya untuk mendengar dan mengenal orang-orang dalam komunitas ini kemudian mengubah pandangannya.

Dosen dan peneliti pluralisme di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menyatakan dia mendukung LGBT, dan selama enam tahun terakhir melakukan pendampingan terhadap komunitas LGBT di Cirebon dan Yogyakarta.

Dalam beberapa pekan terakhir muncul kontroversi terhadap LBGT di Indonesia, dan umumnya didominasi oleh penolakan.

Muiz Ghazali mengatakan ada tafsir ajaran Islam yang saat ini terlalu didominasi oleh pandangan orang-orang heteroseksual sehingga LGBT tidak menemukan tempat dalam agama.

Berikut wawancara singkat BBC Indonesia dengan Muiz Ghazali.


Mengapa Anda mendukung keberadaan komunitas LGBT?

Saya berangkat dari agama. Agama saya, Islam khususnya menyatakan setiap manusia memiliki kewajiban beribadah.

(Tapi) siapa yang akan menangani mereka soal peribadatan, ketika orang-orang agamawan anti (terhadap mereka). Yang kedua, di dalam teks-teks keagaman dalam Islam, juga sangat mendukung eksistensi waria, atau LGBT pada umumnya.

Misalnya dalam teks Al-Quran disebutkan ada orang yang memang tidak memiliki hasrat seksual terhadap lawan jenisnya. Itu yang menjadi dasar saya, bahwa ini memang diakui dalam Islam.

Kapan Anda mulai mengenal dan mencoba memahami mereka?

Dari tahun 2010. Saya pribadi (awalnya) anti, saya masuk ke pelacuran-pelacuran, dan sebagai orang yang lama mondok sempat dikagetkan fakta bahwa LGBT itu ada, jadi wajar ada penolakan termasuk diri saya.
Tapi lambat laun, kemudian hubungan saya dengan LBGT menjadi mencair dan pelan-pelan mengubah persepsi saya tentang siapa LGBT.

Untuk itulah saya melakukan pendalaman tekstual dalam teks-teks agama yang saya pahami, baik itu Al-Quran, hadist, atau pendapat-pendapat ulama yang lain, dan itu sangat mencengangkan. Misalnya kalau homo dihubungkan dengan liwat /sodom itu keliru. Tidak selamanya homo pelaku sodom dan itu jelas banyak di teks-teks agama.

Pawai pada Hari Internasional Melawan Homofibia dan Transfobia (IDAHOT) Mei 2015.
Anda menyebut bahwa ada monopoli tafsir dari kelompok heteroseksual dalam memahami LGBT, mengapa demikian?

Selama ini yang memahami Islam hanya dari aspek heteroseksual termasuk saya, sementara dari LGBT sendiri pada hakekatnya memiliki hak untuk menentukan keagamaan mereka seperti apa. Karena untuk mengetahui Tuhan itu tidak bisa dibuat seumum mungkin dalam satu bentuk format, tapi berangkat dari setiap hati dan nurani masing-masing untuk mengetahui siapa Tuhan saya sebenarnya.

Selama ini ada monopoli tafsir dari orang-orang heteroseksual terhadap LGBT, ayat-ayat yang berhubungan dengan LGBT dibabat habis tanpa ada klarifikasi, tanpa peninjauan ulang, tanpa ada pemahaman yang detail tentang LGBT itu sendiri. Saya juga awalnya orang yang anti terhadap LGBT. Tapi kemudian saya belajar dari situ.

Pertanyaan umum saya adalah LGBT kah yang salah? atau cara pandang saya tentang agama yang keliru?

Kesimpulan saya mengatakan bahwa agama tidak ada masalah tentang LGBT, artinya cara pandang saya yang keliru, maka itu perlu kita masuk ke cara pandang LGBT.

Dari aspek homo, tafsir terhadap agama dari orang-orang homoseksual itu penting untuk menyuarakan dirinya melalui agama.

Banyak sekali penolakan terhadap LGBT beberapa pekan terakhir, apakah dampaknya bagi mereka?
Puluhan orang dengan berbagai dandanan, unik maupun wajar, sebagian berjilbab, ikut serta dalam Idahot 2015.
Dalam satu sisi ada nuansa berdampak buruk, tetapi ada sisi positifnya. Negatifnya adalah, dalam satu sisi, diskriminasi dan ancaman terhadap mereka makin terbuka lebar.

Tetapi positifnya wacana ini dibuka kembali dan itu bisa memungkinkan perubahan paradigma atau cara pandang masyarakat tentang LGBT, kalau wacana itu mengemuka bersama sains, kajian sosial kemasyarakatan.

Ada banyak orang yang menentang pendapat Anda, bagaimana Anda menyikapinya?

Saya biasanya tidak menanggapi, penerimaan dan penolakan adalah sebuah proses. Tidak perlu ditanggapi dengan hiruk pikuk seperti ini. Penting adanya penyadaran pelan-pelan untuk menengok kembali tafsir keagamaan yang ada selama ini.

BBC

'LGBT yang salah, atau cara pandang saya tentang agama yang keliru?'

Abdul Muiz Ghazali
Abdul Muiz Ghazali, seorang peneliti studi Islam pada awalnya anti terhadap orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), namun keputusannya untuk mendengar dan mengenal orang-orang dalam komunitas ini kemudian mengubah pandangannya.

Dosen dan peneliti pluralisme di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menyatakan dia mendukung LGBT, dan selama enam tahun terakhir melakukan pendampingan terhadap komunitas LGBT di Cirebon dan Yogyakarta.

Dalam beberapa pekan terakhir muncul kontroversi terhadap LBGT di Indonesia, dan umumnya didominasi oleh penolakan.

Muiz Ghazali mengatakan ada tafsir ajaran Islam yang saat ini terlalu didominasi oleh pandangan orang-orang heteroseksual sehingga LGBT tidak menemukan tempat dalam agama.

Berikut wawancara singkat BBC Indonesia dengan Muiz Ghazali.


Mengapa Anda mendukung keberadaan komunitas LGBT?

Saya berangkat dari agama. Agama saya, Islam khususnya menyatakan setiap manusia memiliki kewajiban beribadah.

(Tapi) siapa yang akan menangani mereka soal peribadatan, ketika orang-orang agamawan anti (terhadap mereka). Yang kedua, di dalam teks-teks keagaman dalam Islam, juga sangat mendukung eksistensi waria, atau LGBT pada umumnya.

Misalnya dalam teks Al-Quran disebutkan ada orang yang memang tidak memiliki hasrat seksual terhadap lawan jenisnya. Itu yang menjadi dasar saya, bahwa ini memang diakui dalam Islam.

Kapan Anda mulai mengenal dan mencoba memahami mereka?

Dari tahun 2010. Saya pribadi (awalnya) anti, saya masuk ke pelacuran-pelacuran, dan sebagai orang yang lama mondok sempat dikagetkan fakta bahwa LGBT itu ada, jadi wajar ada penolakan termasuk diri saya.
Tapi lambat laun, kemudian hubungan saya dengan LBGT menjadi mencair dan pelan-pelan mengubah persepsi saya tentang siapa LGBT.

Untuk itulah saya melakukan pendalaman tekstual dalam teks-teks agama yang saya pahami, baik itu Al-Quran, hadist, atau pendapat-pendapat ulama yang lain, dan itu sangat mencengangkan. Misalnya kalau homo dihubungkan dengan liwat /sodom itu keliru. Tidak selamanya homo pelaku sodom dan itu jelas banyak di teks-teks agama.

Pawai pada Hari Internasional Melawan Homofibia dan Transfobia (IDAHOT) Mei 2015.
Anda menyebut bahwa ada monopoli tafsir dari kelompok heteroseksual dalam memahami LGBT, mengapa demikian?

Selama ini yang memahami Islam hanya dari aspek heteroseksual termasuk saya, sementara dari LGBT sendiri pada hakekatnya memiliki hak untuk menentukan keagamaan mereka seperti apa. Karena untuk mengetahui Tuhan itu tidak bisa dibuat seumum mungkin dalam satu bentuk format, tapi berangkat dari setiap hati dan nurani masing-masing untuk mengetahui siapa Tuhan saya sebenarnya.

Selama ini ada monopoli tafsir dari orang-orang heteroseksual terhadap LGBT, ayat-ayat yang berhubungan dengan LGBT dibabat habis tanpa ada klarifikasi, tanpa peninjauan ulang, tanpa ada pemahaman yang detail tentang LGBT itu sendiri. Saya juga awalnya orang yang anti terhadap LGBT. Tapi kemudian saya belajar dari situ.

Pertanyaan umum saya adalah LGBT kah yang salah? atau cara pandang saya tentang agama yang keliru?

Kesimpulan saya mengatakan bahwa agama tidak ada masalah tentang LGBT, artinya cara pandang saya yang keliru, maka itu perlu kita masuk ke cara pandang LGBT.

Dari aspek homo, tafsir terhadap agama dari orang-orang homoseksual itu penting untuk menyuarakan dirinya melalui agama.

Banyak sekali penolakan terhadap LGBT beberapa pekan terakhir, apakah dampaknya bagi mereka?
Puluhan orang dengan berbagai dandanan, unik maupun wajar, sebagian berjilbab, ikut serta dalam Idahot 2015.
Dalam satu sisi ada nuansa berdampak buruk, tetapi ada sisi positifnya. Negatifnya adalah, dalam satu sisi, diskriminasi dan ancaman terhadap mereka makin terbuka lebar.

Tetapi positifnya wacana ini dibuka kembali dan itu bisa memungkinkan perubahan paradigma atau cara pandang masyarakat tentang LGBT, kalau wacana itu mengemuka bersama sains, kajian sosial kemasyarakatan.

Ada banyak orang yang menentang pendapat Anda, bagaimana Anda menyikapinya?

Saya biasanya tidak menanggapi, penerimaan dan penolakan adalah sebuah proses. Tidak perlu ditanggapi dengan hiruk pikuk seperti ini. Penting adanya penyadaran pelan-pelan untuk menengok kembali tafsir keagamaan yang ada selama ini.

BBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar